Langsung ke konten utama

Dibalik Kebudayaan dan Arsitektural Kampung Tenun Sulaa Kota Baubau






Saya masih mengingat betapa indahnya Kota Baubau dalam kunjungan pertama saya di bulan Juli 2019. Saat itu dalam event "Social Justice Youth Camp" tingkat SMA/SMK Se-Sulawesi Tenggara, kami menganalisis segala permasalahan yang ada utamanya di Desa Labalawa yang merupakan salah satu Kampung Adat dan daerah disekitarnya.


Pada satu kesempatan, kami diajak berkeliling beberapa landmark Kota Baubau. Selain Benteng Keraton yang tentunya sangat terkenal, saya pun turut ikut mengunjungi salah satu destinasi, apakah kamu pernah mendengar tentang kampung tenun? 

Yaa! saya berkunjung ke tempat tersebut dan memang sangat indah hehe. Desa Sulaa ini merupakan kawasan pesisir loh! Bahkan kita bisa melihat jernihnya air laut Kota Bau-Bau di depan mata. Terdapat 107 rumah, 50 mural yang sangat luar biasa serta puluhan perahu di sana, telah dicat warna-warni demi menyukseskan destinasi wisata Kampung Tenun Warna Warni Ini. Inilah yang menjadi keunikan dari Kampung Tenun Bau-Bau yaitu bagaiman konsep arsitektur rumahnya cukup nyentrik namun nyaman dipandang. Warna-warni nyatanya bukan sekadar pilihan warna, sebab terdapat cerita lisan dibaliknya. Jadi menurut catatan sejarah, tenun Buton sudah diperdagangkan sejak abad ke-14, dan keindahan warna dan coraknya tetap digemari hingga sekarang.

Dilihat dari sisi arsitekturalnya, bukan rahasia lagi bahwa kekayaan budaya Buton terdapat juga pada arsitekturnya. Di kampung ini sendiri kita bisa melihat arsitektur asli rumah adat Banua Tada. Rumah panggung ini memiliki tiang penyangga, lantai, dinding dan rangka yang terbuat dari kayu. Sebelum menjadi Kampung Tenun Warna-Warni, Desa Sulaa juga pernah loh dinobatkan sebagai tempat wisata tenun di kota Baubau.


Berkunjung ke tempat tersebut sejatinya bukan untuk berwisata atau sekad1ar jalan-jalan loh. Rupanya kita diharuskan menganalisa kondisi yang ada di daerah tersebut mulai dari sektor pendidikannya, kesehatan, sosial, dll. Yang cukup menantang yaitu karena kita baru sekali ke tempat itu, apalagi diri saya pribadi yang berasal dari Kota Kendari sehingga untuk itu kita diharuskan mendengar langsung jawaban dari masyarakat setempat terkait kondisi yang ada di daerahnya, bagaimana akses kesehatan, air bersih, juga pendidikan. Yang cukup mengejutkan yaitu kami mendapat fakta bahwa sangat sulit menjangkau sekolah dari kampung ini. Bahkan masyarakat setempat belum mengetahui bahwa di daerah lain sudah diterapkan sistem "zonasi" dalam memilih sekolah. Masyarakat daerah tersebut berpendapat bahwa ada baiknya sistem zonasi ini tidak diterapkan di Kampung Tenun Sulaa sebab hanya ada sedikit sekolah di daerah ini. 
Namun dibalik kondisi ini, masyarakat setempat bisa menyikapi segala tumpang tindih dengan bijak, mereka juga tak merasa terbebani sebab mereka sudah sangat bangga dengan kebudayaan yang ada di tempat tersebut, dengan destinasi ini, kita dapat mengenal lebih jauh mengenai kain tenun Buton serta kebudayaan lokal lainnya.

Jangan pernah merasa lelah untuk mengembangkan potensi daerahmu, prinsipnya jika ada kamu, mengapa harus orang lain? Jika ada negara kita, mengapa harus negara lain?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH ARSITEKTUR : Looking to the East, Discovering Sumba Traditional Architecture

    Sumba is one of three big islands of East Nusa Tenggara (Flores Island, Timor Island and Sumba Island). Sumba is widely known to have strong megalithic culture which can be seen to this day through the relics, such as stone tomb or sarcophagus, dolmen and menhir. The characteristic of settlement in Sumba village are the arranging of traditional houses in circular pattern surrounding the open space. In the open space, which is called as talora , Sumba people place the cemetery in form of sarcophagus then erect a dolmen on it as offering table. Sumba people place the cemetery in the settlement open spaces because of their belief on Marapu , the spirit  of ancestor and the dead.      The architecture of the Indonesian island of Sumba is to this day strongly based on vernacular traditions, which include buildings of rectangular layout, constructed from wood and bamboo with large, grass-thatched roofs. There are physical factors and non-physical factors that support the formation of the

Jika Ruang Berkreasi Dimatikan

Perlu diperhatikan bahwa dalam berkreasi dan berkesenian ternyata juga mempunyai ruang. Berikut pemahamaan mengenai ruang berkreasi dan akibat apabila ruang tersebut dimatikan. Ruang berkreasi sangat berpengaruh bagi seniman Dikutip dari    Kompas.com , Gubernur Bali juga mengakui bahwa ruang berkreasi sangat dibutuhkan oleh para seniman. "Para seniman modern perlu ruang untuk berkreasi menyumbangkan kreativitas bakat karya. Mereka memiliki potensi yang besar, namun yang jadi persoalan mereka hanya memerlukan ruang, perlu kesempatan, tempat dan dana," ucapnya. Ruang untuk berkreasi dan berekspresi dapat mempengaruhi karya para seniman Indonesia. Ruang tersebut adalah sebuah penerimaan dan dukungan dari para penikmat seni maupun masyarakat yang tentunya tidak bersifat menolak. Ruang berkreasi bagi seniman tersebut bukan hanya ruang untuk berkarya tetapi dapat berupa ruang promosi karya melalui berbagai elemen seperti gedung kesenian atau galeri. Ruang berk