Langsung ke konten utama

When Realism Becomes the Only ‘Real’ Art

 

Menjadi seorang seniman adalah hal yang sangat diinginkan oleh sebagian orang. Namun bagaimana apabila seseorang menjadi seniman yang tidak benar-benar bebas? 

-----

Kalau tidak salah, sewaktu kelas tiga SD saya pernah dapat nilai 50 di tugas menggambar. Waktu itu saya tahan untuk tidak menangis tapi karena semakin kesal jadi memberanikan diri untuk maju ke depan dan bertanya kenapa gambar saya yang bagus dapat nilai rendah sedangkan gambar teman saya yang 'jelek' dapat nilai seratus. Bukan maksud merendahkan, tapi saya memang tidak suka dikalahkan oleh sesuatu yang tidak sepadan. Respon gurunya? Saya bahkan masih ingat nada suaranya. Intinya dia berkata bahwa percuma gambar saya bagus tapi mewarnainya tidak segaris. Kalau dipikir-pikir waktu itu saya sangat suka mewarnai dengan zigzag atau dengan pola-pola yang jelasnya bukan teknik searah yang setiap saat diajarkan. Namun saya tidak merasa hal ini membuat hasil dari gambar saya menjadi jelek. Saya bahkan terus menanyakan ke teman sebangku saya apakah itu jelek tapi ia malah selalu memuji saya keren. Dari kejadian ini, saya pun kembali mewarnai dengan normal alias dengan teknik searah dan kembali mendapatkan nilai yang baik.


Setelah belasan tahun berkarya, saya kembali memikirkan kejadian itu. Apakah sistem seperti ini terus diajarkan kepada murid yang masih dalam tahap perkembangan di masa sekolah dasar? Melihat kebelakang, sangat sedikit saya temui teman-teman saya sewaktu sekolah dasar yang aktif di dunia seni. Misalkan kita menghilangkan pandangan bahwa mungkin dia memang tidak mau menjadi seorang seniman, bagaimana bisa sangat sedikit orang yang berkembang dalam kesenian utamanya dalam menggambar atau melukis sedangkan dahulu mereka mendapat nilai yang tinggi dalam proses pembelajarannya? Kemana kemampuan itu pergi? Jawabannya hanya satu. Dengan membuat standar tertentu yang menuntut murid melakukan segala sesuatu sama persis dengan apa yang diajarkan hanya akan menciptakan seniman-seniman robot yang hanya cakap dalam satu kemampuan. Ibaratnya sebuah robot, tentu akan mengalami masa aktifnya masing masing. Lalu bagaimana setelahnya? Murid-murid tadi tumbuh menjadi seseorang yang tidak mendapat kebebasan dalam seni. 


Kembali bercerita tentang masa lalu, saya juga punya pengalaman sewaktu di taman kanak-kanak. Dalam kegiatan lomba mewarnai yang sudah banyak kali saya ikuti, ada satu lomba mewarnai yang membuat saya bosan. Mungkin karena saya dipaksa untuk ikut sehingga membuat saya merasa ingin menghancurkan gambarnya. Saya mulai dengan mewarnai pohon dengan warna ungu, awan berwarna hijau, sapi berwarna biru, kurang lebih seperti itu. Untungnya orang tua saya tidak marah, hanya terus menceritakannya ke orang lain sehingga membuat saya malu. Namun ajaibnya, saya mendapatkan Juara Favorit dalam lomba itu. Sang pembawa acara berkata gambar saya yang paling unik dan membuat juri tertawa, saya tidak berani maju ke panggung karena malu menang dengan gambar aneh dipamerkan ke hadapan orang banyak. Saya hanya menangis dan ingin pulang.


Lalu, saat ini saya berpikir. Mengapa saya mendapat juara favorit? Gambar saya unik menandakan saya memiliki ciri khas yang tidak ditemui di karya sang juara satu dan juara dua yang tentunya cara mewarnainya sama. Daun yang berwarna hijau, langit berwarna biru, mereka melukiskannya seperti itu. Mengapa sesuatu yang unik seperti yang saya buat justru hanya dipandang sebagai suatu hiburan yang tak berarti. Saya menarik kesimpulan, hal ini karena anak-anak dituntun untuk berpikir realis dengan melihat keadaan sekitar. Lagi-lagi dengan dasar melatih kemampuan otak, membuat anak tumbuh menjadi orang yang cerdas. Memang aneh jika saja ada anak yang berkata awan itu berwarna hijau. Tentu sama sekali ia tidak akan dikatakan anak yang cerdas.


Tak ada yang salah di sini. Sudah seharusnya pendidikan itu membuat anak tumbuh menjadi seorang yang cerdas. Namun, pasti akan lebih keren apabila anak tumbuh menjadi seorang yang cerdas--juga bebas dalam berkesenian.

Mungkin itu saja sedikit opini dari saya yang bersumber dari potongan kisah masa lalu saya. Terima kasih sudah membaca~

Komentar

  1. Kalo kata pandji sedikit lebih beda jauh lebih baik daripada sedikit lebih baik

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

original character storyline: if storm were a person what would he be like?

Venezuela Pada tahun 2019 negara ini ditinggalkan lebih dari tiga juta penduduknya. Negara yang disebut surga bumi oleh Christopher Columbus ini berakhir menyedihkan sebagai negara dengan tingkat kriminalitas tertinggi di dunia. Bukan hanya di lingkup sosial namun dalam institusi pendidikan juga terdapat banyak kekerasan, bullying hingga penganiayaan berat,tobat-obatan terlarang,praktik suap, hingga pembunuhan. Sebagian besar generasi mudanya memilih untuk berhenti bersekolah. Adapun mereka yang bertahan menuntut ilmu dengan harapan kelak bisa mengubah negeri berakhir pada pilihan menyiksa atau disiksa. Halaman ini berisi kisah tentang penderitaan selama dua tahun terakhir yang dialami seorang anak korban perundungan yang ditemukan tidak bernyawa dengan luka di sekujur tubuhnya di pantai terindah di dunia Cayo de Agua yang bahkan tidak mengizinkan dirinya untuk tidur dengan damai di akhir hidupnya karena badai pada hari itu. 

SEJARAH ARSITEKTUR : Looking to the East, Discovering Sumba Traditional Architecture

    Sumba is one of three big islands of East Nusa Tenggara (Flores Island, Timor Island and Sumba Island). Sumba is widely known to have strong megalithic culture which can be seen to this day through the relics, such as stone tomb or sarcophagus, dolmen and menhir. The characteristic of settlement in Sumba village are the arranging of traditional houses in circular pattern surrounding the open space. In the open space, which is called as talora , Sumba people place the cemetery in form of sarcophagus then erect a dolmen on it as offering table. Sumba people place the cemetery in the settlement open spaces because of their belief on Marapu , the spirit  of ancestor and the dead.      The architecture of the Indonesian island of Sumba is to this day strongly based on vernacular traditions, which include buildings of rectangular layout, constructed from wood and bamboo with large, grass-thatched roofs. There are physical factors and non-physical factors...

Dibalik Kebudayaan dan Arsitektural Kampung Tenun Sulaa Kota Baubau

Saya masih mengingat betapa indahnya Kota Baubau dalam kunjungan pertama saya di bulan Juli 2019. Saat itu dalam event "Social Justice Youth Camp" tingkat SMA/SMK Se-Sulawesi Tenggara, kami menganalisis segala permasalahan yang ada utamanya di Desa Labalawa yang merupakan salah satu Kampung Adat dan daerah disekitarnya. Pada satu kesempatan, kami diajak berkeliling beberapa landmark Kota Baubau. Selain Benteng Keraton yang tentunya sangat terkenal, saya pun turut ikut mengunjungi salah satu destinasi, apakah kamu pernah mendengar tentang kampung tenun?  Yaa! saya berkunjung ke tempat tersebut dan memang sangat indah hehe. Desa Sulaa ini merupakan kawasan pesisir loh! Bahkan kita bisa melihat jernihnya air laut Kota Bau-Bau di depan mata. Terdapat 107 rumah, 50 mural yang sangat luar biasa serta puluhan perahu di sana, telah dicat warna-warni demi menyukseskan destinasi wisata Kampung Tenun Warna Warni Ini. Inilah yang menjadi keunikan dari Kampung Tenun Bau-Bau yaitu bagaima...